Makalah Fiqh Muamalah: Asuransi dan Arisan

I.             Pendahuluan
Fiqh kontemporer merupakan perkembangan pemikiran fiqh dewasa ini. Adapun yang melatar belakangi munculnya isu fiqh kontemporer yaitu akibat adanya arus modernisasi yang meliputi hampir sebagian besar negara-negara yang dihuni oleh mayoritas umat islam. Dengan adanya arus modernisasi tersebut, mengakibatkan munculnya berbagai macam perubahan dalam tatanan sosial umat islam.
Perkembangan kehidupan manusia selalu berjalan sesuai dengan ruang dan waktu. Semakin maju suatu negara semakin banyak aktivitas yang mengandung resiko dan kegiatan sosial yang baru, misalnya asuransi dan arisan. Di dalam makalah ini akan dibahas secara singkat mengenai perkembangan fiqh kontemporer tentang asuransi dan arisan.

II.          Rumusan Masalah
A.    Bagaimana pengertian dan macam asuransi ?
B.     Bagaimana dasar hukum fiqh asuransi ?
C.     Bagaimana pandangan ulama mengenai asuransi ?
D.    Bagaimana pengertian arisan ?
E.     Bagaimana dasar hukum fiqh dalam arisan ?


III.      Pembahasan
A.  Pengertian dan macam-macam asuransi
Secara baku definisi asuransi di Indonesia telah ditetapkan dalam Undang-Undang RI No.2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian. Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dimana pihak penanggung mengikatkan diri terhadap tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan peruntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin di derita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan satu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Dalam literatur arab asuransi dikenal dengan sebutan “at-takaful” dimana secara literal berarti pertanggunan yang berbalasan atau hal saling menanggung. Selain itu juga disebut dengan at-ta’min yang berarti tenang dalam arti ketenangan jiwa dan hilangnya rasa takut. Menurut Isa Abduh yang dimaksud at-ta’min yaitu usaha (ekonomi) yang diperoleh melalui kesepakatan antara dua pihak yakni tertanggung (al-mu’amman) yang menyerahkan sejumlah uang kepada penanggung (al-mu’ammin) untuk kemaslahatan orang  lain, sesuai dengan perjanjian yang menghendaki adanya penyerahan (penggantian) dana tatkala nyata-nyata terjadi bahaya pada tertanggung.[1]
Dengan itu asuransi adalah jasa keuangan yang pola kerjanya menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi dan memberi perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup matinya seseorang. Dalam asuransi teribat dua pihak yaitu penanggung dan tertanggung. Pihak pertama, biasanya berwujud lembaga atau perusahaan asuransi, sedangkan pihak kedua orang yang akan menderita karena suatu peristiwa yang belum terjadi. Sebagai akibat dari kontrak pertanggungan ini pihak tertanggung di wajibkan membayar uang premi kepada pihak penanggung (Perusahaan Asuransi).
Di Indonesia dikenal berbagai macam-macam asuransi di antaranya:
1.    Asuransi Dwiguna
Yaitu asuransi yang memiliki dua guna atau dua keperluan yang dapat ditempuh dalam jangka waktu sepuluh, lima belas, dua puluh lima, atau tiga puluh tahun. Dua guna itu yakni :
a.    Perlindungan bagi keluarga,
b.    Menjadi tabungan bagi tertanggung.
2.    Asuransi Jiwa
Yakni asuransi yang bertujuan untuk menjain biaya hidup orang-orang yang ditinggalkan bila pemegang polis meninggal dunia, atau untuk memenuhi keperluan hidupnya atau keluarganya, bila pemegang polis usianya panjang melewati masa kontrak berakhir.
3.    Asuransi Kebakaran
Yakni asuransi yang bertujuan untuk mengganti kerugian yang disebabkan oleh adanya kebakaran.
4.    Asuransi atas Biaya yang Menimpa Anggota Tubuh
Asuransi jenis ini banyak dilakukan oleh buruh-buruh industri yang menghadapi berbagai macam-macam kecelakaan dalam melaksanakan tugasnya.
5.    Asuransi Terhadap Pertanggungan Sipil
Jenis asuransi ini ialah asuransi yang diadakan untuk perlindungan terhadap benda-benda penting dan berharga.[2]

B.  Dasar hukum fiqh asuransi
1.      Al Qur’an dan Hadits
§  ...Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu... (QS Al Baqarah ayat 185)
§  Perintah Allah untuk mempersiapkan hari depan (Q.s al-Hasyr:18)
“hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dibuat untuk hari esok (masa depan). Dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui yang kamu kerjakan”
§  Hadits tentang anjuran menghilangkan kesulitan seseorang
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a, Nabi Muhammad bersabda: “barang siapa yang menghilangkan kesulitan duniawinya seorang mukmin, maka Allah SWT akan menghilangkan kesulitannya pada hari kiamat. Barangsiapa yang mempermudah kesulitan seseorang maka Allah akan mempermudah urusannya di dunia dan di akhirat.”
2.      Dalam hukum positif yang menjadi dasar hukum dalam asuransi syariah adalah UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang masih bersifat global. Sedangkan, dalam menjalankan usahanya secara syariah, perusahaan asuransi dan reasuransi syariah menggunakan pedoman fatwa DSN MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman umum  asuransi syariah. oleh karena fatwa DSN tersebut tidak memiliki kekuatan hukum maka dibentuk peraturan perundangan oleh pemerintah yang berkaitan dengan asuransi syariah.[3]

C.  Pandangan ulama mengenai asuransi
Dalam menghadapi maslaah asuransi ini para ulama fiqh kontemporer dapat digolongkan dalam empat kelompok. Argumen mereka dalam menopang pendapatnya, dapat dilihat sebagai berikut ini :
1.      Kelompok pertama, para ulama fiqh mengharamkan asuransi karena:
a.       asuransi sama dengan judi
b.      asuransi mengandung ketidak jelasan dan ketidak pastian (Jahalat wa al-Gharar)
c.       asuransi mengandung unsur riba
d.      asuransi mengandung unsur eksploitasi[4]
e.       premi-premi yang telah dibayarkan oleh para pemegang polis diputar dalam praktik riba
f.       asuransi termasuk akad sharfi artinya jual beli atau tukar menukar mata uang tidak dengan uang tunai.
g.      Hidup dan matinya manusia dijadikan objek bisnis yang berarti mendahului takdir Tuhan Yang Maha Esa[5]
2.      Kelompok kedua, para ulama fiqh membolehkan asuransi secara mutak tanpa terkecuali dengan alasan sebagai berikut :
a.       Tidak ada nash al Qur’an dan al Hadist yang melarang asuransi
b.      Dalam asuransi terdapat kesepatan dan kerelaan antara kedua belah pihak
c.       Asuransi saling menguntungkan kedua belah pihak
d.      Asuransi mengandung kepentigan umum
e.       Asuransi termasuk akad mudharabah antara pemegang polis dan perusahaan asuransi
f.       Asuransi termasuk syirkah ta’wuniyah yaitu usaha bersama yang didasarkan pada prinsip tolong menolong[6]
g.      Dianalogikan atau diqiyaskan dengan sistem pensiun
h.      Asuransi menjaga banyak manusia dari kecelakaan harta benda, kekayaan dan kepribadian[7]
3.      Kelompok ketiga, para ulama fiqh membolehkan asuransi bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang bersifat komersial semata, karena : Alasan yang membolehkan asuransi bersifat sosial sama dengan alasan pendapat kedua, sedangkan alasan pengharaman asuransi bersifat komersial semata pada garis besar sama dengan alasan pendapat pertama
4.      Kelompok keempat, para ulama fiqh menganggap asuransi sebagai syubhat dengan alasan tidak ada dalil yang secara tegas mengharamkannya dan menghalalkannya sementara dapat dirasakan pada asuransi terkandung keuntungan sekaligus kerugian pada pihak-pihak yang terlibat.[8]

D.  Pengertian arisan
Arisan adalah pengumpulan uang atau barang yang bernilai sama, oleh beberapa orang lalu diundi diantara mereka. Undian tersebut dilaksanakan berkala sampai semua anggota memperolehnya.[9]
Arisan secara umum termasuk muamalat yang belum pernah disinggung dalam Al Qur’an dan As Sunnah secara langsung, maka hukumnya dikembalikan kepada hukum asal muamalah, yaitu boleh. Para ulama menyebutkan hal tersebut dengan mengemukakan kaedah fiqh yang berbunyi :
اَلأَصْلُ فِي الْعُقُوْدِ وَالْمُعَامَلاَتِاَلْحِلُّ وَ الْجَوَازُ

Pada dasarnya hukum transaksi dan muamalah itu adalah halal dan boleh.
a.    Pendapat para ulama tentang arisan 
Syekh Ibnu Utsaimin berkata: “Arisan hukumnya adalah boleh, tidak terlarang. Barangsiapa mengira bahwa arisan termasuk kategori memberikan pinjaman dengan mengambil manfaat maka anggapan tersebut adalah keliru, sebab semua anggota arisan akan mendapatkan bagiannya sesuai dengan gilirannya masing-masing “. (Syarh Riyadhus Sholihin, Ibnu Utsaimin: 1/838)
Jadi, arisan hukumnya boleh bahkan memiliki manfaat. Namun perlu diingatkan di sini bahwa dalam acara arisan hendaknya diisi dengan sesuatu yang bermanfaat seperti pengajian ilmu, nasehat atau hal-hal yang bermanfaat, minimal adalah perkara-perkara yang mubah, janganlah mengisi acara arisan dengan hal-hal yang haram seperti yang banyak terjadi, seperti: ghibah, mendengar nyanyian, senda gurau yang berlebihan dan lain sebagainya.[10]

E.   Dasar hukum fiqh arisan
1.     Al Qur’an
Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan. (QS. Luqman/31: 20)


2.    Hadist
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ فَطَارَتْ الْقُرْعَةُ عَلَى عَائِشَةَ وَحَفْصَةَ فَخَرَجَتَا مَعَهُ جَمِيعًا
" Rasullulah SAW apabila pergi, beliau mengadakan undian di antara istri-istrinya, lalu jatuhlah undian itu pada Aisyah dan Hafsah, maka kami pun bersama beliau." ( HR Muslim, no : 4477)

Hadits Abu Darda’ ra, bahwasanya Rasulullah bersabda :
ما أحل الله في كتابه فهو حلال وما حرم فهو حرام وما سكت عنه فهو عفو فاقبلوا من الله عافيته فإن الله لم يكن لينسى شيئاً وتلا قوله تعالى :( وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا ) سورة مريم الآية
“Apa yang dihalalkan Allah di dalam kitab-Nya, maka hukumnya halal, dan apa yang diharamkannya, maka hukumnya haram. Adapun sesuatu yang tidak dibicarakannya, maka dianggap sesuatu pemberian, maka terimalah pemberiannya, karena Allah tidaklah lupa terhadap sesuatu. Kemudian beliau membaca firman Allah swt (Dan tidaklah sekali-kali Rabb-mu itu lupa) – QS Maryam : 64- “ (HR Al Hakim, dan beliau mengatakan shahih isnadnya, dan disetujui oleh Imam Adz Dzahabi).
Hadits di atas secara jelas menyebutkan bahwa sesuatu (dalam muamalah) yang belum pernah disinggung oleh Al Qur’an dan Sunnah hukumnya adalah “afwun“ ( pemberian ) dari Allah atau sesuatu yang boleh.


IV.           KESIMPULAN
Asuransi adalah jasa keuangan yang pola kerjanya menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi dan memberi perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup matinya seseorang. Perusahaan asuransi dan reasuransi syariah menggunakan pedoman fatwa DSN MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman umum  asuransi syariah. Terdapat empat kelompok ulama fiqh yaitu: para ulama fiqh mengharamkan asuransi, para ulama fiqh membolehkan asuransi secara mutak tanpa terkecuali, para ulama fiqh membolehkan asuransi bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang bersifat komersial semata, para ulama fiqh menganggap asuransi sebagai syubhat.
Arisan secara umum termasuk muamalat yang belum pernah disinggung dalam Al Qur’an dan As Sunnah secara langsung, maka hukumnya dikembalikan kepada hukum asal muamalah, yaitu boleh. Arisan hukumnya boleh bahkan memiliki manfaat. Namun perlu diingatkan di sini bahwa dalam acara arisan hendaknya diisi dengan sesuatu yang bermanfaat seperti pengajian ilmu, nasehat atau hal-hal yang bermanfaat, minimal adalah perkara-perkara yang mubah, janganlah mengisi acara arisan dengan hal-hal yang haram seperti yang banyak terjadi, seperti: ghibah, mendengar nyanyian, senda gurau yang berlebihan dan lain sebagainya.


DAFTAR PUSTAKA

Suma, M, Amin. Asuransi Syariah dan asuransi konvensional “ teori, sistem,aplikasi, dan pemasaran”.
Widyaningsih, et al, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media. 2005.
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Abdul Rahman dkk, FIQH MUAMALAT, Jakarta: Kencana, 2010.
Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (PN Balai Pustaka, 1976).
http://abiubaidah.com/hukum-arisan.html/, 20 Oktober 2015, jam 10.00 WIB














[1] M, Amin Suma, Asuransi Syariah dan asuransi konvensional “ teori, sistem,aplikasi, dan pemasaran”, hal.41.
[2] Abdul Rahman dkk, FIQH MUAMALAT, Jakarta: Kencana, 2010. Hal. 235-237
[3] Widyaningsih, et al, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005, hal 204.
[4] Abdul Rahman dkk, FIQH MUAMALAT, Jakarta: Kencana, 2010. Hal. 238-239
[5] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Rajawali Pers, 2010. Hal 310
[6] Abdul Rahman dkk, FIQH MUAMALAT, Jakarta: Kencana, 2010. Hal. 239
[7] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Rajawali Pers, 2010. Hal 311
[8] Abdul Rahman dkk, FIQH MUAMALAT, Jakarta: Kencana, 2010. Hal. 240
[9] Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (PN Balai Pustaka, 1976) hlm 57.
[10] http://abiubaidah.com/hukum-arisan.html/, 20 Oktober 2015, jam 10.00 WIB

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Studi Kelayakan Bisnis

Makalah Fiqh Mawaris (Kakek dan Saudara)