Fiqh Muamalah : kasus sewa lahan dan galian tambang

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia saling membutuhkan satu sama lain untuk memenuhi kebutuhannya. Baik kebutuhan primer maupun kebutuhan sekunder. Kebutuhan manusia selalu bertambah sedangkan alat untuk memenuhi kebutuhan terbatas. Untuh memenuhi kebutuhan tersebut manusia dituntut untuk bekerja.Sesuai dengan perkembangan zaman, kini bnayak usaha yang dilakukan oleh manusia untuk mendapatkan uang sebagai alat pemenuh kebutuhan. Usaha diantaranya adalah dengan menjadi penganjar, pegawai, pengusaha dan lain sebagainya.
Di masa sekarang ini banyak muncul suatu usaha baru yang dahulu pada masa Rasulullah belum ada, dan banyak juga muncul hukum-hukum baru salah satunya jasa sewa rahim dan sewa lahan galian tambang. Pada kesempatan kali ini pemakalah akan membahas seputar masalah berikut :
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian sewa rahim?
2.      Bagaimana hukum sewa rahim?
3.      Apa pengertian sewa lahan galian tambang?
4.      Bagaimana hukum sewa lahan galian tambang?






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Sewa Rahim
Sewa rahim adalah suatu kesepakatan di mana seorang wanita bersedia hamil dan selanjutnya memberikan anak yang akan dilahirkannya pada orang tua  lain  yang  akan  mengangkatnya  sebagai  anak. Ia (wanita) tersebut bisa menjadi ibu genetik dari si anak (bentuk tradisional dari surrogacy), atau bisa juga dengan cara dibuahi (tansfer embrio) dari benih orang lain (gestational surrogacy).[1]
Penyewaan rahim merupakan metode reproduksi bantuan (assisted reproduction). Dalam beberapa kasus, ini menjadi satu-satunya alternatif bagi pasangan (yang sulit punya anak) yang ingin memiliki anak  yang  masih memiliki ikatan dengan mereka secara biologis.[2]
Di dalam bahasa Arab, sewa rahim dikenal dengan berbagai macam istilah di antaranya: al-‘ummu al-musta’jir,  al-ummu al-badilah,  al-musta’jiralhadlanah,  syatlul janin,  al-ummu al-kazibahar-rahmu al-musta’ar, atau ta’jirul arham. Tetapi sewa rahim lebih dikenal dengan istilah ar-rahmu al-musta’jir atau al-‘ummu al-badilah. Sedangkan di dalam bahasa Inggris, sewa rahim dikenal dengan istilah surrogate mother.[3]
Menurut Ali ‘Arif, di dalam bukunya al-’Ummu al-Badlilah (ar-Rahmu al-Musta’jirah) sebagaimana dikutip oleh Radin Seri Nabahah bt. Ahmad Zabidi, sewa rahim adalah menggunakan rahim wanita lain untuk mengandungkan benih wanita (ovum) yang telah dibuahi dengan benih laki-laki (sperma), dan janin itu dikandung oleh wanita tersebut hingga lahir. Kemudian anak itu diberikan kembali kepada pasangan suami isteri tersebut untuk memeliharanya dan anak itu dianggap anak mereka dari sudut undang-undang.[4]

Yahya Abdurrahman al-Khatib mendefinisikan sewa rahim adalah dua orang suami isteri yang membuat kesepakatan bersama wanita lain untuk menanamkan sel telur yang telah diinseminasi (dibuahi) dari wanita pertama dengan sperma suaminya pada rahim wanita kedua dengan upah yang telah disepakatinya. Selanjutnya, wanita kedua ini disebut:[5]
1.      Al-’ummu al-musta‘ar (ibu pinjaman), yaitu wanita yang di dalam rahimnya dimasukkan sel telur yang telah diinseminasi (dibuahi). Ia juga disebut dengan mu’jirah al-bathni (wanita yang menyewakan perutnya).
2.      Ar-rahim az-zi’r. Secara etimologis az-zi’r adalah wanita yang belas kasih kepada anak orang lain dan yang menyusuinya, sama saja dari manusia atau unta. Sedangkan bentuk jamaknya adalah az’uraz’ar dan zu’ur. Yang dimaksud dengan ar-rahim az-zi’r di sini adalah bahwa sel telur itu diambil dari seorang wanita, sedang rahim yang mengandung  dan  yang melahirkan adalah wanita lain.
3.      Syatlu al-janin (penanaman janin), yaitu seorang suami mencampuri isterinya yang tidak layak hamil, kemudian sperma itu dipindahkan dari isterinya ke dalam rahim wanita lain yang mempunyai suami  melalui metode kedokteran. Selanjutnya wanita inilah yang mengandungnya hingga melahirkan.
4.      Al-mudl’ifah (wanita pelayan), yaitu wanita lain dimana sel telur (ovum) yang telah diinseminasi (dibuahi) dipindahkan ke dalam rahimnya. Ia juga disebut dengan ummu bi al-wakalah (ibu perwakilan).

B.     Hukum Sewa Rahim
Ada beberapa sudut pandang tentang hukum sewa rahim yaitu :
1.      Sudut Pandang Agama.
Berkembangnya masalah ini tidak terlepas dari pantauan fiqih Islam karena segala perbuatan manusia tidak akan pernah terlepas dari hukum Islam. Penyewaan rahim baik dengan suka rela atau dengan imbalan berupa materi dan dengan tujuan apapun di hukumi haram dalam islam. Untuk masalah penyewaan rahim, ulama bersepakat bahwa masalah ini merupakan masalah yang terlarang dalam islam dengan menimbang beberapa alasan. Yaitu:
Tidak adanya tali pernikahan diantara pemilik sperma dan pemilik rahim. Dalam syariat islam, syarat mutlak atas status legal atau sah dari kelahiran seorang anak ke alam semesta adalah dengan melalui jalur resmi, yaitu pernikahan. Jika ada seorang perempuan hamil diluar tali pernikahan, maka kehamilannya dihukumi kehamilan yang tidak sah, begitu juga anak yang nanti akan lahir. Dengan adanya penyewaan rahim, maka dikhawatirkan akan timbul fitnah kepada perempuan yang dijadikan tempat penanaman janin. Padahal islam sangat mengecam adanya perbuatan fitnah dan pencemaran nama baik. Disamping itu juga dihawatirkan akan terjadi ketidak jelasan nasab dari anak yang dilahirkan. Dan lagi islam sangat menjaga kesucian nasab.
Tidak sah rahim itu menjadi barang jual beli. Rahim tidak termasuk dalam barang yang bisa diserah terimakan dengan imbalan materi misalkan dengan disewa atau diperjual belikan atau dengan tanpa imbalan misalkan dipinjamkan atau diserahkan dengan sukarela.
Penyewaan rahim akan mengakibatkan terlantarnya anak dan menyebabkan orang tua melepaskan tanggung jawab. Terkadang dapat terjadi penyia-nyiaan terhadap anak yang dihasilkan dari penyewaan rahim, misalkan saja kalau terjadi cacat pada anak tersebut atau hal-hal yang tidak dapat diterima oleh pihak penyewa, dan pihak yang disewa juga tidak mau merawatnya karena tidak termasuk dalam perjanjian.
Pada 13 Juni 1979 Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang bayi tabung yang boleh dilakukan tapi tidak dengan penyewaan rahim. Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI) memfatwakan sebagai berikut :
Bayi tabung dari pasangan suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang lain (misalnya dari isteri kedua dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, dan sebaliknya).
Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam kaitannya dengan hal kewarisan.

Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami isteri yang sah hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis di luar pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina sesungguhnya.
2.      Sudut Pandang Hukum.
Secara hukum, penyewaan rahim dilarang di Indonesia. Larangan ini termuat dalam UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 73 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan.
3.      Sudut Pandang Moral.
Secara sisi moral bagi wanita yang telah menyewakan rahimnya, biasanya jika telah mengandung dan melahirkannya si wanita tersebut sulit untuk memberikan janin yang telah dilahirkannya. Maka dari itu akan memancing timbulnya konflik antara pasangan yang telah menyewa rahim dan wanita yang menyewakan rahimnya.
4.      Sudut Pandang Masyarakat.
Perempuan yang telah menyewakan rahimnya akan mendapat stigma buruk jika ketahuan melakukan sewa rahim. Apalagi jika hal tersebut dilakukan di Indonesia yang memiliki hukum dan budaya yang kuat. Biasanya jika masyarakat mengetahui ada wanita yang telah menyewakan rahimnya, maka masyarakat akan memandang buruk atau menilai rendah wanita tersebut. Bisa-bisa wanita tersebut akan dikucilkan dari lingkungan masyarakat.
5.      Sudut Pandang Negara Lain.
Negara yang memberlakukan hukum Islam sebagai hukum negaranya, tidak diperbolehkan dilakukannya inseminasi buatan dengan donor dan sewa rahim. Negara Swiss melarang pula dilakukannya inseminasi buatan dengan donor. Sedangkan Lybia dalam perubahan hukum pidananya tanggal 7 Desember 1972 melarang semua bentuk inseminasi buatan. Larangan terhadap inseminasi buatan dengan sperma suami didasarkan pada premis bahwa hal itu sama dengan usaha untuk mengubah rancangan ciptaan Tuhan.[6]


C.    Sewa Lahan Galian Tambang
Sewa-menyewa tanah dalam hukum perjanjian Islam dapat dibenarkan keberadaannya, baik tanah itu digunakan untuk tanah pertanian atau juga untuk pertapakan bangunan atau kepentingan lainnya. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam hal perjanjian sewa – menyewa tanah adalah sebagi berikut:[7]
1.      Untuk apakah tanah tersebut digunakan, sebab apabila digunakan utnuk lahan pertanian maka harus diterangkan dalam perjanjian jenis apakah tanaman yang harus ditanam ditanah tersebut, sebab jenis tanaman yang ditanam akan berpengaruh pula tehadap jumlah uang sewanya. Namun demikian dapat juga dikemukakan bahwa keaneka ragaman tanaman dapat juga dilakukan asal saja orang yang menyewakan atau pemilik dari tanah tersebut mengizinkan tanahnya untuk ditanami apa saja yang dikehendaki oleh pihak penyewa.
2.      Apabila dalam sewa-menyewa tanah tidak dijelaskan untuk apakah tanah tersebut digunakan, maka sewa-menyewa yang diadakan dinyatakan batal (fasid), sebab keagungan tanah sangat beragam. Dengan tidak jelasnya penggunaan tanah itu dalam perjanjian, dikhawatirkan akan melahirkan persepsi yang berbeda antara pemilik tanah dengan pihak penyewa dan pada akhirnya akan menimbulkan persengketaan antara kedua belah pihak.
Macam-macam jenis tambang ada banyak seperti batu bara, minyak bumi, emas dan lain sebagainya.

D.    Hukum Sewa Lahan Galian Tambang
Akad penambangan merupakan salah satu kegiatan muamalah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Praktek penambangan tersebut sudah menjadi hal yang lumrah di indonesia. Untuk mengetahui akad tersebut sah atau tidak, dapat kita lihat terlebih dahulu mengenai rukun-rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam akad tersebut.



Rukun-rukun akadnya adalah sebagai berikut :[8]
1.      Aqid, yaitu kedua belah pihak yang melakukan akad
2.      Ma’qud Alaih, yaitu benda yang dijadikan akad
3.      Maudhu’ al’aqd, tujuan atau maksud pokok mengadakan akad
Syarat ijarah:
1.      Yang menyewakan dan yang menyewa telah baligh, berakal sehat dan sama-sama ridha.
2.      Barang atau sesuatu yang disewakan itu mempunyai faedah yang berharga, faedahnya dapat dinikmati oleh yang menyewa dan kadarnya jelas.
3.      Harga sewanya dan keadaannya jelas, misalny: Rumah Rp. 100.000,- sebulan, dibayar tunai atau angsuran.
4.      Yang menyewakan adalah pemilik barang sewa
5.      Ada kerelaan kedua belah pihak yang menyewakan dan penyewa yang digambarkan apa adanya ijab Kabul.
6.      Yang disewakan ditentukan barang atau sifat-sifatnya
7.      Manfaat yang dimaksud bukan hal yang dilarang syara’.
8.      Berapa lama waktu menikmati manfaat barang sewa harus jelas.
9.      Harga sewa yang harus dibayar bila berupa uang ditentukan berapa besarnya.
10.  Tidak mengambil manfaat bagi diri orang yang disewa, tidak menyewakan diri untuk perbuatan ketaatan sebab manfaat dari ketaatan tersebut adalah untuk dirinya.[9]









BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sewa rahim adalah suatu kesepakatan di mana seorang wanita bersedia hamil dan selanjutnya memberikan anak yang akan dilahirkannya pada orang tua  lain  yang  akan  mengangkatnya  sebagai  anak. Untuk masalah penyewaan rahim, ulama bersepakat bahwa masalah ini merupakan masalah yang terlarang dalam islam dengan menimbang beberapa alasan. Tidak sah rahim itu menjadi barang jual beli. Rahim tidak termasuk dalam barang yang bisa diserah terimakan dengan imbalan materi misalkan dengan disewa atau diperjual belikan atau dengan tanpa imbalan misalkan dipinjamkan atau diserahkan dengan sukarela.
Sewa-menyewa tanah dalam hukum perjanjian Islam dapat dibenarkan keberadaannya, baik tanah itu digunakan untuk tanah pertanian atau juga untuk pertapakan bangunan atau kepentingan lainnya. Akad penambangan merupakan salah satu kegiatan muamalah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Untuk mengetahui akad tersebut sah atau tidak, dapat kita lihat terlebih dahulu mengenai rukun-rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi.












DAFTAR PUSTAKA
Surrogacy, http://en.wikipedia.com, diakses tanggal 3 april 2015 pukul 20:30

Radin  Seri  Nabahah  bt.  Ahmad  Zabidi,  ”Penyewaan  Rahim  Menurut  Pandangan Islam,”  http//tibbians.tripod.com/shuib3.pdf, akses 3 april 2015

al-Khatib, Yahya  Abdurrahman. 2003.Hukum-Hukum  Wanita  Hamil  (Ibadah,  Perdata, Pidana) , cet. ke- 1 (Jatim: al-Izzah)

Rasjid, Sulaiman.2010. “Fiqh Islam”.  Bandung; Sinar Baru Algesindo

Mas’adi,Ghufron A.2002.Fiqh Muamalah kontekstual,jakarta : Raja Grafindo Persada

Ash-Shiddieqy,Hasbi.1970. “Hukum-Hukum Fiqih Islam”. Jakarta; Bulan Bintang











[1].Surrogacy,” http://en.wikipedia.com, diakses tanggal 3 april 2015 pukul 20:30
[2].Ibid.
[3].Radin  Seri  Nabahah  bt.  Ahmad  Zabidi,  ”Penyewaan  Rahim  Menurut  Pandangan Islam,”  http//tibbians.tripod.com/shuib3.pdf, akses 3 april 2015, hlm. 2.
[4].Ibid.
[5].Yahya  Abdurrahman  al-Khatib,  Hukum-Hukum  Wanita  Hamil  (Ibadah,  Perdata, Pidana) , cet. ke- 1 (Jatim: al-Izzah, 2003), hlm. 166-167.

[7]Sulaiman Rasjid, “Fiqh Islam”.  (Bandung; Sinar Baru Algesindo; 2010), hal. 303
[8]Ghufron A. Mas’adi,Fiqh Muamalah kontekstual,( jakarta : Raja Grafindo Persada,2002), hal. 78
[9]Hasbi Ash-Shiddieqy, “Hukum-Hukum Fiqih Islam”. (Jakarta; Bulan Bintang; 1970), hal. 490.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Studi Kelayakan Bisnis

Makalah Fiqh Mawaris (Kakek dan Saudara)

Makalah Fiqh Muamalah: Asuransi dan Arisan